Barusan saya ngobrol sama ibu. Obrolan yang ringan dan singkat sih, but... left a deep impression.
Saya mulai obrolan setelah saya baru selesai melilitkan handuk di rambut saya yang basah, berbagi kutipan yang saya baca dari internet.
Sambil duduk di samping ibu yang lagi tiduran, saya bilang kalau laki-laki yang bahagia itu yang menikah dengan perempuan yang dia cintai; tapi laki-laki yang mencintai perempuan yang dia nikahi itu lebih bahagia lagi.
Saya mulai obrolan setelah saya baru selesai melilitkan handuk di rambut saya yang basah, berbagi kutipan yang saya baca dari internet.
Sambil duduk di samping ibu yang lagi tiduran, saya bilang kalau laki-laki yang bahagia itu yang menikah dengan perempuan yang dia cintai; tapi laki-laki yang mencintai perempuan yang dia nikahi itu lebih bahagia lagi.
Ibu diam sebentar lalu bilang kalau beliau tidak terlalu paham sama apa yang saya bicarakan. Akhirnya saya berikan analogi, supaya ibu ngerti apa yang mau saya sampaikan. Saya jadi kepikiran kutipan dari film yang judulnya Fireproof.
Saya bilang, hubungan - yang disini merujuk pada pacaran atau pernikahan - itu ibarat baca buku. Laki-laki baca perempuan, begitu juga sebaliknya perempuan baca laki-laki, saling mempelajari.
Saya bilang, hubungan - yang disini merujuk pada pacaran atau pernikahan - itu ibarat baca buku. Laki-laki baca perempuan, begitu juga sebaliknya perempuan baca laki-laki, saling mempelajari.
Laki-laki dan perempuan membaca dan mempelajari masing-masing, tapi kalau bacanya dimulai waktu pacaran, mereka belum selesai baca sudah ambil kesimpulan duluan tentang pasangan dan memutuskan buat menikah (kalau kesimpulan tentang pasangan baik).
Tetapi setelah menikah eh, malah berhenti membaca, berhenti mempelajari bukunya. Semua yang ada di kepala mereka tentang pasangan masing-masing itu cuma kesimpulan yang mereka buat, bukan kesimpulan yang ada di buku, being judgemental, I could say? Akhirnya mereka bosan dengan masing-masing dan cari buku baru. Pasangan baru. Selingkuh. Cerai. Yang memang sedang marak terjadi di Indonesia kan?
Kalau 'bacanya' dimulai saat sudah menikah, saya pikir akan lebih seru (bisa diartikan ta'aruf juga sih). Tiap hari ada lembaran baru yang dibaca, ada bagian yang mungkin kalian gak suka, yang menuntut kalian untuk lebih toleran terhadap pasangan, dan bagian lain yang bisa jadi favorit kalian dijadikan hal yang bisa mempererat hubungan. Setiap hari halaman baru, dan harus dibaca - mau gak mau - sampai habis, supaya kalian tau orang seperti apa yang kalian nikahi.
Dalam proses membaca itu, kalian bisa buat buku baru, menggabungkan dua buku yang jadi referensi jadi satu.
Dalam proses membaca itu, kalian bisa buat buku baru, menggabungkan dua buku yang jadi referensi jadi satu.
Lalu ibu tiba-tiba bilang kalau ibu tidak pernah sehari pun bosan sama bapak, meski ibu sama bapak sudah kenal jauh sebelum beliau memutuskan untuk menikah dengan bapak. Ibu bilang setiap hari sama bapak itu rasanya baru menikah kemarin saja, yang buat beda itu ya anak-anak mereka yang tambah besar, tambah dewasa.
Ibu bilang kalau bapak dulu sering sekali ganggu ibu, cari perhatian. Waktu bapak menikah dengan ibu, ibu sudah punya status janda dengan satu anak, tapi bapak tidak pernah merasa terbebani dengan status ibu dan menerima beliau apa adanya. Termasuk anaknya, kakak tiri saya.
Mungkin yang mereka bilang cinta itu buta memang benar adanya. I wonder...
Waktu bapak memutuskan untuk menikahi ibu, yang keberatan itu justru adalah nenek dan kakek saya, maklum, orangtua kan ingin yang terbaik untuk anaknya. Memangnya janda tidak baik untuk dinikahi ya?
Mungkin yang mereka bilang cinta itu buta memang benar adanya. I wonder...
Waktu bapak memutuskan untuk menikahi ibu, yang keberatan itu justru adalah nenek dan kakek saya, maklum, orangtua kan ingin yang terbaik untuk anaknya. Memangnya janda tidak baik untuk dinikahi ya?
Balik lagi ke pembicaraan sebelumnya, saat ibu bilang beliau tidak pernah bosan dengan bapak. Saya tanya, 'kok bisa?'
Sebelum jawab pertanyaan saya ibu saya ketawa, mungkin beliau teringat lagi memori masa lalu tentang bapak yang saya yakin membludak, tapi tidak bisa ceritakan semuanya. Ibu bilang ibu dan bapak gak pernah berantem, kalau bapak marah, ibu cuekin dan tinggal pergi. Eh, pas ibu pulang sudah dimasakin makanan dan diajak makan.
Kalau ibu yang marah, bapak cuma diam saja, tidak balik berargumen.
Mereka cuma pasangan biasa, tapi rasa sayang terhadap satu sama lain mengalahkan perbedaan yang mereka punya.
They were perfect for each other, they were meant for each other. And, I'm glad, I was my mom and dad's daughter.
Sebelum jawab pertanyaan saya ibu saya ketawa, mungkin beliau teringat lagi memori masa lalu tentang bapak yang saya yakin membludak, tapi tidak bisa ceritakan semuanya. Ibu bilang ibu dan bapak gak pernah berantem, kalau bapak marah, ibu cuekin dan tinggal pergi. Eh, pas ibu pulang sudah dimasakin makanan dan diajak makan.
Kalau ibu yang marah, bapak cuma diam saja, tidak balik berargumen.
Mereka cuma pasangan biasa, tapi rasa sayang terhadap satu sama lain mengalahkan perbedaan yang mereka punya.
They were perfect for each other, they were meant for each other. And, I'm glad, I was my mom and dad's daughter.
Pernikahan, entah hubungan itu dimulai lewat pacaran atau bahkan saat menikah, memang gak menjamin akan jadi hubungan yang seumur hidup (seperti kisah cinta ibu dan bapak saya haha), tapi bukan berarti it couldn't last forever, right?
Semua tergantung yang menjalani, tergantung bagaimana kalian menyikapi dan menyelesaikan masalah yang biasanya terjadi karena perbedaan. Iya gak sih? Haha
Jangan lupa, bahwa kalian juga harus mengikutsertakan Tuhan dalam setiap hubungan. Karena Tuhan yang menciptakan kamu dan pasangan kamu, dan membuat kalian bersama. Makanya kalian juga harus "spiritually stable" untuk menikah. Am I wrong? :p
Semua tergantung yang menjalani, tergantung bagaimana kalian menyikapi dan menyelesaikan masalah yang biasanya terjadi karena perbedaan. Iya gak sih? Haha
Jangan lupa, bahwa kalian juga harus mengikutsertakan Tuhan dalam setiap hubungan. Karena Tuhan yang menciptakan kamu dan pasangan kamu, dan membuat kalian bersama. Makanya kalian juga harus "spiritually stable" untuk menikah. Am I wrong? :p
Oh ya, bicara soal pernikahan, ibu sempat bilang kalau tahun 2018 saya harus sudah nikah, beliau bilang: "Masa ibu sudah 70 tahun, tapi anak bungsu ibu belum nikah?"
Saya jawab dengan bercanda, bilang saya mau nikah dengan siapa, laki-laki yang lagi dekat saja tidak ada.
Saya jawab dengan bercanda, bilang saya mau nikah dengan siapa, laki-laki yang lagi dekat saja tidak ada.
Ada sih laki-laki yang ingin saya habiskan waktu bersama dalam ikatan pernikahan, tapi dia tidak tahu kalau saya menyukainya, dia juga tidak tau ada namanya saya sebut saat saya berdoa.
Komentar
Posting Komentar